|
Gemerlap lampu menerangi kawasan hiburan malam di Jalan Braga, Bandung,
Jawa Barat, pada Kamis (7/4/2011) malam. Hiburan malam adalah sisi lain
yang menarik dari Kota Kembang Varijs van Java itu.
|
KOMPAS.com- Hanya ada satu meja resepsionis, tanpa
petugas yang berjaga dalam ruangan sederhana berlampu remang-remang.
Tengah pekan pada akhir Januari lalu, saat malam masih muda, ruang tamu
sebuah lokasi hiburan di pusat Kota Bandung itu dihangatkan beberapa
penerima tamu berbaju seksi yang siap mengantar tamu ke etalase
perempuan penghibur. Itulah secuplik dunia malam Kota Bandung, yang
gelegaknya terus berdenyut hingga dini hari, dan tiap hari pula.
Kalau sudah cocok dan enjoy dengan tamu, kami bisa saja janjian ketemu setelah di ruang karaoke. Apa pun bisa terjadi,"
-- Vire
“Silakan,
pak… Mari kita lihat,” tutur salah seorang dari penerima tamu, sembari
mengajak menyusuri lorong remang-remang, yang lebarnya hanya sekitar
satu meter. Perjalanan berakhir di luar sebuah kamar terang benderang,
dengan belasan perempuan berbaju seronok, berikut nomor di dada.
Di
sinilah pasar hiburan malam Kota Kembang, yang menyediakan hiburan bagi
hasrat lelaki. Para tamu, tentu saja pria, mengintip para perempuan
lewat jendela nako. Para perempuan yang berdandan secantik dan seseksi
mungkin itu pun siap ”bertugas” jika nomornya terpilih dan dipanggil si
penerima tamu.
Sembari menggaet tangan si tamu, perempuan penerima
tamu itu gesit mencarikan kamar, atau lebih tepat dinamai bilik.
Luasnya hanya 2 x 2 meter berikut kamar mandi di dalamnya. Dindingnya
tripleks yang dicat kuning, selaras dengan lampu remang-remang,
satu-satunya lampu di situ, yang juga berwarna kuning. Hanya ada satu
kasur sederhana, serta meja di ujung kamar, plus kaca rias.
Di
kamar apa adanya itulah transaksi tiap malam berputar. Ris, sebut saja
demikian, adalah salah satu perempuan di rumah hiburan itu. “Saya sudah
enam bulan di sini. Sudah termasuk senior, karena yang lain kebanyakan
baru beberapa minggu,” kata wanita asal Cirebon berusia 36 tahun itu.
Sekali
diservis, lanjut Ris, tamu dipungut Rp 250.000. Itu biaya untuk sewa
bilik beserta pelayanan si penghibur. Ris keberatan menyebut berapa
rupiah yang ia peroleh dari Rp 250.000 itu. Yang pasti, selain mendapat
uang dari biaya resmi, ia kerap menerima tip dari tamu yang puas dengan
pelayanannya. Nilainya, bervariasi antara Rp 100.000 hingga Rp 300.000,
tergantung belas kasih si tamu.
Selain ruang berkaca “etalase”
itu, tersedia pula sebuah kafe sederhana yang bisa berfungsi sebagai
arena transaksi. Di kafe yang juga remang-remang itu, pria yang datang,
segera disambut perempuan yang siap menemani minum. Percakapan apa yang
terjadi selama minum? Bisa ke mana-mana. Termasuk, bisa berakhir dengan
kesesuaian harga, dan semuanya selesai di bilik mini itu.
Pusat
hiburan ini tanpa embel-embel, apakah dia panti pijat, spa, atau
karaoke. “Kalau menyebut panti pijat, kan memang di sini tidak
menawarkan pijat,” tutur Ris. Semua aktivitas di pusat hiburan itu
berakhir pukul 02.00 dini hari, dan dimulai pukul 12.00. Saat dimulai
tengah hari itu, tutur Ris, hanya satu-dua penghibur yang berjaga.
“Maklum, di sini makin malam makin ramai,” tambahnya lagi.
Pemandu lagu
Hiburan
malam versi lain di Bandung, persis juga dengan di Jakarta, berupa
arena karaoke plus. Kata “plus” di sini mengacu pada istilah perempuan
pemandu lagu, biasa disingkat PL. Lagi-lagi, di tempat karaoke plus
seperti ini, tamu yang datang melulu pria. Itu tak lain karena semua
pemandu lagu adalah wanita. Kebanyakan tamu datang berombongan, tiga
hingga lima orang.
Heri J, seorang karyawan swasta di Bandung,
misalnya, kala itu datang di karaoke plus “B” di kawasan Jalan
Soekarno-Hatta, Bandung, bersama dua teman kerjanya. “Sebelumnya sudah
pernah sekali datang ke sini, jadi ini yang kedua. Ya, sekadar melepas
stres setelah berminggu-minggu bekerja. Wajar kan,” ujar pria berkaca
mata itu.
Mirip dengan arena hiburan di pusat kota yang telah
disinggung di muka, arena karaoke ini juga menyediakan “akuarium” PL
yang segera ditawarkan untuk dilihat para tamu. “Sekarang ini yang
datang memang cuma sedikit. Tetapi semuanya kualitas top,” kata seorang
pria kenes mempromosikan delapan perempuan di dalam kamar berkaca lebar
itu. Setelah masing-masing memilih pemandu lagu, mereka lalu masuk ke
ruang karaoke, disusul pemandu yang sudah dipilih.
Bertukar nomor
telepon genggam antara pemandu lagu dengan para tamu, sudah biasa.
Setidaknya itulah yang dituturkan Vire, salah seorang pemandu lagu di
arena karaoke "B." "Kalau sudah cocok dan
enjoy dengan tamu,
kami bisa saja janjian ketemu setelah di ruang karaoke. Apa pun bisa
terjadi," tutur Vire, yang baru berusia 26 tahun, dan sudah berstatus
janda beranak satu.
Kisah sehari-hari seorang pemandu lagu juga
diungkapkan Ativ. “Dua malam berturut-turut saya mabuk, karena tamu
banyak, dan mereka buka botol juga. Eh, sekarang mabuk lagi,” kata Ativ,
sambil menuangkan minuman berkadar alkohol hampir 40 persen ke gelas
tamu-tamunya. “Kalau mau minum, emang pasnya sama saya. Dijamin asyik
deh,” janji perempuan yang juga berusia 20-an tahun itu.
Ativ dan
teman-temannya tidak hanya berkesempatan meminum minuman yang sama
dengan tamunya. Dia bebas memesan apa pun tanpa persetujuan tamu.
Biasanya, mereka memesan sebungkus rokok dan air mineral. Nanti-nanti,
tambah lagi lainnya. Sang tamu pun cuma bisa menandatangani bon pesanan
Ativ tanpa tahu perkiraan harganya. Selain itu, mereka juga bisa
menyanyi lagu pilihan sendiri.
Dengan honor PL ditetapkan Rp
240.000,00 per orang, rombongan tamu bisa merogoh koceknya hingga Rp 2
juta lebih untuk menyanyi bersama PL selama 3 jam. Hitung saja harga
minuman yang biasa ditawarkan dan disajikan di pusat karaoke “B.”
Misalnya, paket 2 Chivas seharga Rp 900.000, yang setelah ditambah pajak
dan biaya servis Rp 180.000, menjadi Rp 1.080.000,00. Satu pitcher Coca
Cola? Siapkan Rp 226.000.
Seiring dengan makin larutnya malam,
perbincangan menghangat. Bermacam pengakuan pun meluncur, baik dari tamu
maupun PL. Ativ, misalnya, sempat menuturkan betapa ia sedih mengingat
hancurnya cita-cita masa kecil. “Sejak kecil cita-cita saya sebenarnya
ingin jadi dokter. Sampai sekarang pun masih memendam cita-cita itu.
Makanya, setelah adik saya diterima di Fakultas Kedokteran, saya
semangat membiayai. Ibu dan adik saya nggak tahu saya kerja di sini,”
katanya sembari mengusap air mata yang tiba-tiba menetes di pipi.
Saat siang
Bagaimana
jika siang hari? Ada saja hiburan. Salah satunya berupa servis di panti
pijat eksklusif. Tarifnya? Tidak mahal-mahal amat. Untuk kamar standar,
atau yang termurah misalnya, cukup Rp 150.000. Bila sedang beruntung,
Anda bisa mendapat potongan harga Rp 50.000. Ada dua kelas kamar lagi
yang lebih mahal, yakni deluxe dan VIP. Kedua kamar ini “terisolir”,
tidak berjajar seperti kamar stándar, yang memungkinkan bisa mendengar
suara percakapan kamar sébelah.
Kamar stándar itu hanya 4 x 1
meter dengan suasana cukup privat, seperti lampu remang-remang dan
korden tertutup rapat. Setelah menunggu beberapa saat di kasur pijat,
gadis pemijat akan datang. Mengenakan rok mini dan blus ketat, si gadis
akan memperkenalkan diri dengan suara lembut plus manja, sebelum memijat
seluruh tubuh.
Seperti dituturkan Tin, bukan nama sebenarnya,
pemijat asal Sukabumi yang usianya belum menginjak 25 tahun. Ia bekerja
di panti pijat eksklusif itu sudah tiga bulan, bersamaan dengan
pembukaan panti tersebut. “Waktu itu ada saudara yang menginformasikan
adanya lowongan di sini,” tutur Tin.
Setelah dilatih, Tin pun
bekerja melayani tamu-tamu panti. “Enak nggak enak sih,” ujar Tin yang
berambut sebahu. Enaknya, jika si tamu mau diajak ngobrol sehingga
sembari ia memijat, tidak merasa bosan. Yang membuatnya malas, bila
tamunya hanya nyenyak tertidur. Jika itu yang terjadi, Tin akan jenuh,
karena selama dia memijat, total butuh 90 menit, ia hanya akan mendengar
dengkur si tamu.
Bandung, yang berhawa sejuk dan dikenal punya
banyak aset wisata, mulai dari wisata alam, ilmu pengetahuan, belanja,
dan kuliner, juga mengandalkan kawasan-kawasan hiburan untuk menggenjot
pendapatan daerahnya. Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bandung
mengklasifikan kawasan hiburan dengan 15 kategori, antara lain meliputi
bioskop, diskotek, karaoke, klab malam, panti pijat, kolam renang, dan
insidental kesenian (termasuk di dalamnya konser musik).
Menurut
Sekretaris Dispenda Kota Bandung, Hendar, realisasi penerimaan daerah
dari bisnis hiburan pada 2010, melebihi target. “Semula, penerimaan dari
hiburan pada 2010 kami targetkan Rp 25 miliar. Tetapi realisasinya
mencapai Rp 25,32 miliar. Makanya 2011 ini target dinaikkan menjadi Rp
30 miliar,” tutur Hendar.
Yang menarik, di antara beberapa pusat
hiburan yang penghasilannya melebihi target, dua di antaranya adalah
karaoke dan panti pijat. Karaoke yang ditargetkan menggaet Rp 7,9
miliar, ternyata meraih Rp 8,4 miliar. Sedangkan panti pijat, dari
target awal Rp 2,2 miliar, menerima Rp 2,3 miliar. Ini Bandung, bung.
Kota dengan turis yang terus berdatangan, dan mereka nyata-nyata ingin
terus dihibur.
(Herlambang Jaluardi/Adi Prinantyo)